Selasa, 15 Mei 2012

Anak Indigo bertingkah Aneh Karena Dapat melihat Jin



Sosok anak kecil (8 thn) berkaca mata yang tinggal di Bekasi itu terkesan tenang dan pendiam. Tapi siapa sangka di balik ketenangannya itu ia menyimpan sebuah kisah penuh misteri. Awal mula keanehan itu seakan merupakan suatu kelebihan, karena si anak bisa melihat jin yang tidak terlihat oleh orang yang bersamanya.



Namun, perjalanan selanjutnya ternyata melahirkan suatu penderitaan yang beruntun yang harus ditanggung oleh “si anak indigo” itu.

Dirumah orangtuanya yang asri, merangkap sebagai tempat pembelajaran anak-anak, Majalah Ghoib berbincang santai dengan kedua orangtuanya. Inilah penuturannya.

Terus terang keluarga saya secara turun temurun, senang mempelajari ilmu kanuragan. Mulai dari buyut, kakek, hingga ayah. Bedanya, ayah tidak suka menggunakan kepandaiannya dan tidak mau mendalaminya.

Setiap orang yang mempelajari ilmu semacam ini suka ataupun tidak, tentu sadar bahwa ilmunya itu bisa turun kepada anak-anaknya. Dan itulah yang terjadi pada keluarga saya. Hingga sekarang. Saat ini saudara saya masih ada yang memperdalam kemampuannya, sampai bisa menghilang dair pandangan orang lain. Hal ini sangat disadari ayah dan beliau tidak ingin saya mewarisi ilmunya ini, sehingga beliau berusaha keras melindungi saya yang kebetulan adalah anak yang paling disayanginya. Disamping itu, saya merupakan satu-satunya anak perempuan di keluarga.

Meskipun saya tidak mewarisi ilmu itu, bukan berarti saya bisa bernafas dengan lega. Sebab saya juga khawatir ilmu itu akan terwarisi oleh anak saya, karena menurut hitungan uwak saya, ilmu itu akan diwarisi oleh Andi (nama samaran), anak saya yang kedua. Saya masih belum menyadarinya hingga suatu hari saya menderita sakit. Temperatur panas badan saya sangat tinggi.

Dan keesokan harinya saya langsung berobat ke dokter. Saya terperangah, seakan tidak percaya ketika mendengar penjelasan dokter. “Ibu mengidap penyakit kelenjar getah bening dalam taraf yang sudah akut. Ibu harus menjalani operasi”. Demikian dokter menjelaskan hasil pemeriksaan laboratorium kepada saya dan suami.

Seakan tersambar Guntur di siang hari, saya tidak percaya. Bagaimana mungkin demam yang baru saya derita satu hari dinyatakan sudah akut dan harus dioperasi. Padahal sebelumnya saya tidak merasakan gejala orang sakit kelenjar getah bening. Saya hanya pasrah, “Kalau sakit itu merupakan ujian, saya harus bersabar.” ltu saja yang membuat saya terus semangat beribadah.

Namun, untuk menjalani operasi kelenjar getah bening terus terang saia saya masih belum siap, dan secara kebetulan ada beberapa teman yang memberikan informasi bahwa di Sukabumi ada pengobatan alternatif yang terkenal. Akhirnya dengan ditemani suami saya berobat ke sana. Sepulang berobat saya dikasih rajah yang harus direbus dengan cara-cara tertentu dan diminum selama empat puluh hari. Terus terang, saya tidak tahu apakah ada kaitan antara sakit yang diderita Andi dengan peristiwa yang saya alami ini, sebab kejadiannya memang susul menyusul.

Muncul keanehan-keanehan

Andi mulai mengalami perubahan yang diluar nalar. Bagaimana tidak. la mulai bisa melihat sesuatu yang ghoib, sesuatu yang tidak dilihat oleh orang-orang yang bersamanya, meski orang itu adalah kami, orangtuanya sendiri. “Bapak jangan duduk di kursi itu, karena sudah ada yang duduk di sana nanti bapak menyakitinya,” kata Andi kepada ayahnya yang hendak duduk di sebuah kursi. Kejadian seperti ini seringkali berulang. Bukan hanya di rumah tapi juga di sekolah. Andi sering melihat makhluk lain yang menakutkan di sekolah. Sehingga guru-gurunya di sebuah sekolah TK saat itu heran, mengapa Andi tidak mau bermain dengan teman-temannya, tapi sering mengikuti gurunya kemana pun dia pergi.

“Pak, Bu. Sekarang apa yang dialami Andi sehingga ia harus mengikuti gurunya kemana-mana?” tanya seorang gurunya kepada kami. Ketika hal itu saya tanyakan kepada Andi, ia menjawab, “Soalnya di sekolah itu banyak ninja. Kalau Andi di ayunan, ia ikut di ayunan. Kalau Andi di perosotan ia ikut di perosotan. Saya takut. Orang-orang asing itu juga terkadang ada di antara teman-teman Andi”, katanya. Terus saya meminta Andi mendiskripsikan “Pokoknya seperti ninja. Hitam-hitam,” lanjut Andi. “Aku tidak mau lagi sekolah, sebab orangnya terlalu banyak. Dan orang itu tidak Andi kenal”. Peristiwa ini terjadi pada tahun 2000, saat Andi masih sekolah TK kelas B.

Andi semakin sering melihat anak kecil berkepala botak dan berkulit hitam. Bahkan saat selanjutnya, ia juga melihat wanita tua. Setelah tiba di rumah dia langsung berteriak, “Tuh kan, ia sekarang sudah menunggu.” “Siapa yang menunggu?” Tanya saya. Sebab saya tidak melihat siapapun di rumah. “ltu, nenek tua yang sering Andi lihat di sekolah,” jawab Andi. “Bagaimana rupanya?” saya merasa penasaran juga. “Nenek berambut panjang,” Andi mencoba menjelaskannya.

Andi tidak mau main dengan teman-temannya ketika di sekolah. Padahal selama ini, dia anak yang biasa-biasa saja. Di rumah, dia mulai mempunyai kebiasaan aneh. Dia sibuk dengan tembok, kelihatan asyik ngobrol sendiri di tembok. Kadang-kadang, kalau sedang bermain dia banyak bebicara, seperti ada temannya. Padahal dia cuma sendirian. Apa yang diobrolkannya pun tidak jelas. Terkadang tanpa bicara hanya dengan bahasa isyarat, seakan di depannya memang ada anak seusianya dan mereka kelihatan asyik sekali bermainnya. Kalau kita menemaninya. Dia akan diam, lalu memandang kita dengan raut wajah ketakutan. Setelah kita pergi, dia kembali asyik dengan mainannya.

Suatu ketika saya bilang, “Andi, kalau mama lagi ngajar, kamu main ya, sama teman-teman”. Dia malah tidak mau, “Tidak usah, suruh pulang saja, Andi berani kok main di rumah sendiri”, kata Andi.

lntensitas gangguan yang dialami Andi juga semakin sering, bahkan wujud yang dilihatnya juga semakin aneh. Wujud yang tidak lazim. Kali ini, yang dilihat orang bertanduk, sangat menakutkannya. Hingga suatu saat, ketika Andi sedeang di kamar, dia meloncat kepada ayahnya sambil berteriak, “Dia meloncat lewat jendela dan sekarang ia mengganggu Andi”. Hal itu sudah keterlaluan dan mengganggu Andi.

Ternyata, apa yang diderita Andi itu semakin kuat seiring dengan semakin seringnya saya berobat ke Sukabumi hingga empat kali. Saya berpikir, “Kok Andi begini, kok saya begini?” Saya juga sering bermimpi melihat dua orang jelek, persis seperti yang diceritakan Andi. Dari mimpi itu saya membayangkan wajah orang yang sering dilihat Andi. Memang menakutkan.

Masalah bertambah

Setelah kondisi Andi semakin mengkhawatirkan, ibu menyuruh saya untuk membawanya ke uwak, karena ia juga bisa melihat sesuatu yang tidak terlihat orang lain. Agar Andi diobati. Sepulang dari uwak, kemampuan Andi tidak berkurang, bahkan semakin tajam. Uwak pernah memandikannya dengan air kembang tujuh rupa dan meminta kain hitam. Kemudian uwakmembacakan do’a-do’a pada kain hitam yang dicelupkan di air. Setelah itu Andi disuruh meminumnya.

Ternyata, uwak semakin mengasah ketajaman penglihatan Andi. Misalnya ketika ada orang yang punya masalah, uwakminta Andi untuk menyebutkan berapa jin yang mengganggu orang itu. lstilahnya, Andi menjadi penyambung antara uwakdengan jin. Ya, kalau ada pasien yang datang, uwak menyuruh Andi untuk melihatnya.

Demikian juga ketika uwak menjenguk saya, pada saat sakit saya kambuh kembali, “Andi, coba lihat pada mama itu ada siapa?” kata uwak dengan tenang. Akhirnya Andi yang menyebutkannya.

Peristiwa ini menyadarkan saya bahwa apa yang dilakukanuwak itu tidak benar. Saya ingin Andi sembuh dari gangguan yang menyakitkan ini. Saya ingin Andi menjadi normal seperti anak-anak lain yang menikmati dunianya. Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kemampuan Andi semakin dipertajam. Sehingga Andi bisa melihat makhluk yang lain, bukan hanya anak kecil berkepala botak dan kedua orang tuanya. Dia juga melihat ada dua monyet di dalam rumah neneknya, atau ada sesuatu yang ditaruh di bawah pohon kelapa. Andi tahu semuanya. Terus terang, uwak saya itu memang punyakhadam dari jin.

Secara diam-diam, uwak memberi kalung kepada Andi. Setelah saya tahu bahwa ada sesuatu yang dibungkus di dalam bandul kalung itu, dan saya yakin itu adalah rajah. Segera, saya cabut kalungnya dan saya buang. Terang saja uwak marah melihat barang titipannya saya buang. “ltu pendamping anakmu” alasan uwak. “Kalau uwak bilang itu sebagai pendamping, sayatidak setuju”, jawab saya dengan tidak kalah sengitnya.

Waktu kalung itu saya buang, Andi kelihatan mulai berubah. Dia bisa menghabiskan makanan yang secara logika tidak mungkin anak seumur Andi sanggup menghabiskannya. Karena makanan yang berupa kue itu, saya siapkan untuk kami berlima, seluruh anggota keluarga. Selain itu, cara makannya juga tidak wajar, misalnya dengan membuka lebar jari-jarinya dan mengambil nasi yang cukup banyak untuk ukuran mulutnya. la juga makan dengan tangan kiri. Sampai akhirnya saya bertanya-tanya. “lni anakku atau bukan, ya?” Bukan hanya itu, Andi juga bisa menghabiskan daging ayam separuh.

Makannya juga aneh. Dengan mengeluarkan suara dan matanya kelihatan beringas. Selesai makan, saya bertanya, “Andi, maaf ya. Mama mau tanya. Andi tadi makan ayamnya kok banyak sekali?” “Tidak, Andi tidak makan”. Jawabnya, la tidak sadar bahwa makanan itu ia yang menghabiskan semuanya. la menyangkalnya dengan ngotot. Padahal saya meihat sendiri cara dia makan tadi.

Ucapannya juga sudah aneh-aneh, “Ma, tadi ada bapaknya ke sini”, katanya “Anaknya itu di sini, ma. Sekarang ibunya yang berambut panjang, sedang mengejar-ngejar anaknya, disuruh pulang,” lanjut Andi. Rupanya ia diikuti oleh anak jin yang berkulit hitam sejak dari sekolah. “Tapi anaknya tidak mau,” katanya. Saya tanya lagi, “Kenapa tidak mau?” “Dia mau main sama Andi,” jawab Andi.

Semakin lama keanehannya semakin bertambah. la makan dengan cara tertentu. Bila sudah sampai hitungan ke sembilan ia berhenti makan, walau makanan itu belum habis. Ketika makan pisang, misalnya. Setelah sampai hitungan sembilan dia langsung berhenti. Makan apapun akan berhenti setelah sampai pada hitungan sembilan. Hingga bapaknya pun terkadang menggoda, “Andi sudah sampai sembilan, belum?” jadi malah kita jadikan gurauan.

Tapi saya semakin berpikir “Kok aneh ya”. Dalam kondisi seperti itu Andi malah sering berani menggoda gurunya, “liiih, di belakangnya ibu ada temannya, kan?” Sampai akhirnya saya lebih khawatir ketika dia mulai diajak beberapa teman saya ke rumahnya dan disuruh untuk melihat apakah ada sesuatu yang aneh atau tidak di rumahnya. “Andi, coba lihat. Apa di rumah ini kosong apa nggak dari makhluk aneh?” pintanya.

Terapi Ruqyah Syar’iyyah

Sebulan kemudian, ia berubah drastis. Sekarang menjadi penakut, dan tidak pernah lagi menyebut melihat sesuatu. Tapi malah ketakutan, “Ma, Andi takut, temanin Andi, ma!,” akhirnya saya tanya, “Kamu lihat yang menyeramkan, ya?” Saat itu, Andi mulai tidak mau mendiskripsikan apa yang dilihatnya. “Pokoknya, Andi takut. pokoknya, Andi takut”. Dari situ saya mulai berpikir untuk mencari pengobatan buat Andi. Banyak orang yang menyarankan ke sana kemari. Hingga akhirnya saya membaca Majalah Ghoib. di samping itu saya juga mulai mengikuti kajian kelslaman di sebuah lembaga lslam. Dari sini, Alhamdulillah saya menemukan jalan.

Singkat kata, saya langsung tertarik dengan pengobatan ruqyah ini. Sebab saya tidak mau mengulangi kesalahan yang sama seperti dulu. Akhirnya saya, suami dan Andi pergi ke kantor Majalah Ghoib untuk terapi ruqyah. Saya ingat, saat itu kami harus menunggu giliran, sambil istirahat di halaman rumah. Ketika sedang menunggu giliran, Andi sudah mulai gelisah dan menghabiskan semua bekal makanan yang saya bawa. Waktu disuruh masuk Andi juga tidak mau. Akhirnya saya bujuk. Setelah diputarkan kaset ruqyah, Andi berontak dan lari. Lalu ia ditenangkan oleh Ustadz Musyaffa. Tak lama kemudian Andi ditangani oleh Ustadz Junaedi dan Ustadz Fadhlan. Saat itulah Andi mulai tenang.

Kebetulan, saat itu ada seseorang yang sedang diruqyah dan kelihatan ada reaksi dari jin yang di tubuhnya. Ustadz Fadhlan berkata. “Andi, lihat! di depanmu ada apa?”. “Andi tidak melihat apa-apa. Andi cuma melihat orang berbaring saja”. Jawab Andi. “Ya sudah, berarti jin yang bersama kamu sudah hilang.” komentar ustadz Fadhlan. Saya bersyukur kepada Allah dan berterima kasih atas pertolongan tim ruqyah MajalahGhoib, karena sejak saat itu, Alhamdulillah Andi sudah tidak bisa melihat jin.

Setelah proses ruqyah Andi selesai, saya juga minta diruqyah. Barangkali saya juga mengalami gangguan yang sama. Ternyata benar, saya juga kemasukan jin. Waktu itu, ustadz Fadhlan sempat bilang “Bu, mungkin ini keturunan”. Saya memang belum sempat cerita tentang latar belakang keluarga saya. Sebulan kemudian saya datang lagi. Saat itu saya melihat Andi sudah mulai berubah. la bilang “Andi kan tidak sakit, Andi kan tidak seperti orang itu, Andi kan tidak terganggu jin”. Saya pikir anak saya ini masih kecil dan tidak bisa dibawa ke pengobatan masal seperti ini. Akhirnya saya bilang kepada ustadz Junaedi bahwa saya ingin belajar ruqyah dengan tujuan saya bisa menangani anak saya sendiri. Dalam perjalanan selanjutnya, Alhamdulillah, saya bisa meruqyah dan bisa membantu orang lain yang merasakan derita gangguan jin.

Memperoleh wawasan baru

Untuk menghilangkan gangguan jin secara total pada usia belum baligh, memang agak sulit. Oleh karena itu, saya berusaha membangun benteng yang melindungi kami dari gangguan jin. Saya mencoba mengajak Andi ikut berdzikir. Pada bulan pertama dia bisa ikut berdzikir, tapi pada bulan kedua saya lihat reaksinya sudah berubah. Dia sudah mulai tidak mau shalat, saya suruh berdzikir juga tidak mau. Akhirnya, saya mengajaknya menemui ustadz Junaedi. Beliau bilang, “lbu, pertahanannya bukan di Andi, pertahanannya pada ibu dan bapak. Karena Andi masih belum punya pertahanan apa-apa dan jangan dipaksa”. Dari sini saya semakin rajin belajar agama dan rutin ibadah.

Saya juga tidak pernah menyerah menghadapi kasus Andi, akhirnya saya memutuskan untuk berbicara terbuka kepada Andi, akan problem yang dihadapinya. Saya mengajaknya bicara dengan bahasa anak-anak, “Andi kondisi kamu itu sebenarnya begini lho, kamu itu diganggu, kamu itu harus punya pertahanan seperti ini”. Dengan pendekatan seperti itu, Andi mulai mau berdzikir kembali.

Cuma memang prosesnya itu sangat memberatkannya. Kadangkala saya menemani Andi berdzikir, saya bilang, “Andi berdzikir satu lingkaran saja, tiga puluh tiga kali”. Dengan membaca ,”Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) selain Allah.

Tiada sekutu bagi-Nya. Dan bagi-Nya seluruh kekuasaan dan segala puji. Dia Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Baru berdzikir sekitar dua puluh kali, Andi sudah jatuh terjungkal. “Mama, Andi tidak kuat”. Katanya. “ltu bukan Andi, Andi harus kuat, Andi harus melawan”. Saya mencoba menguatkannya. Akhirnya ia berdzikir dengan terbata-bata. “Ya Allah lindungilah anak saya,” saya berdoa dengan cucuran air mata membasahi pipi. Kemudian saya menelpon Ustadz Junaedi. Kata beliau, “lbu jangan terlalu memaksa, kalau Andi bisa berdzikir sepuluh kali, ya sepuluh kali saia. Kalau bisa dua puluh, Ya puluh kali saja. Jangan terlalu dipaksa”.

Akhirnya, saya perlonggar lagi dan saya biarkan dia berdzikir sendiri. Tapi yang terjadi justru diluar di luar perkiraan saya. Dzikirnya sudah berubah. Dia berdzikir “Golajong ….” Lafadz dzikir itu aneh dan tidak saya pahami, hampir semua kata-katanya itu tidak terlepas dari huruf G. Akhirnya saya perhatikan kembali dan saya dengarkan dengan seksama. Eh, ia berdzikir seperti yang saya ajarkan. Ketika tidak saya perhatikan, dia kembali berdzikir dengan dzikir yang aneh. Akhirnya saya pikir ini hanya masalah tarik ulur saja. Dan saya berpikir, “Saya harus memperkuat diri sendiri terlebih dahulu, kemudian Andi”.

Di samping itu, saya memutar kaset ruqyah dua puluh empat jam tanpa jeda. Awalnya Andi bilang, “Ma, matiin deh, kepala Andi pusing.” Saya tidak menuruti kemauannya, kaset itu tetap saya putar sampai akhirnya Andi marah lalu mematikan kaset. Saat selanjutnya, saya menangkap Andi menggendongnya, lalu saya meruqyah-nya. Hingga Andi menangis.

Saya membiarkannya menangis, asalkan gangguan itu hilang. Tak terasa saya pun menangis tersedu-sedu, meskipun demikian saya harus terus membacakan ayat ruqyah. Sungguh, saya tidak tega melihat penderitaan yang dialami buah hati saya yang masih kecil. Rasanya sungguh berat derita yang ditanggungya. Padahal dia tidak tahu masalah apa-apa. Saya berharap ini adalah cobaan terakhir yang dialami keluarga saya. Dan tidak ada orang lain yang mengalami nasib seperti anak saya ini.

Mungkin karena kaset itu sering diputar, sehingga Andi sendiri sudah hafal bacaan ruqyah itu. Dan saat ruqyah berikutnya, karena memang membiasakan meruqyahnya, setelah saya membaca beberapa ayat Andi langsung meneruskannya sendiri. Lalu saya menelpon tim ruqyah, saya sampaikan apa yang terjadi. “Nggak apa-apa ibu, semoga itu Andi sendiri yang membaca,” kata Ustadz Junaedi. Sampai suatu ketika Andi bilang, “Mama, boleh nggak aku belajar sama ustadz Fadhlan saya mau bisa ruqyah”. Lalu saya tanya “Apa kamu bisa hafal bacaan-bacaan ruqyah?” Akhirnya dia membacanya dan memang dia hafal. Dia juga sering melihat saya meruqyah.

Sebulan lalu saya sempat membawa Andi ke tim ruqyah Majalah Ghoib. Karena sekarang serangan jin itu terjadi di waktu ashar atau maghrib. Saya tidak tahu sebabnya, tiba-tiba Andi menangis, tapi tidak mengeluar-kan air mata. Terkadang mengamuk dengan tanpa sebab. Setelah saya tanya, “lngatkah kalau Andi tadi nangis?” “Nangis?” katanya dengan nada tidak percaya. “Tadi kan Andi digendong mama”.

Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan, sekarang, setelah ashar Andi sudah tidak boleh keluar ia harus sudah ada di dalam. Dan kita selalu memutar kaset muratal. Selain itu sehabis Maghrib saya berusaha meruqyah Andi, ia gelisah dan mengeluarkan keringat sebesar jagung. Sungguh penderitaan yang berat.

Alhamdulillah, pengaruhnya itu sangat baik, sekarang ini Andi kalau dzikir sudah tidak harus disuruh lagi. Bahkan bilang, “Habis maghrib mama harus mengetes hapalanku”. Begitu juga kalau akan pergi sekolah dia juga minta dibacakan do’a, “Ma, tolong bacakan do’a untuk Andi”. Do’a-do’a yang sering saya bacakan untuk Andi adalah “Aku berlindung dengan kalimat Allah yang sempurna dari keburukan makhluk ciptan-Nya”. Sebenarnya dia sendiri sudah hapal do’a-do’anya, tapi rupanya do’a saya itu terasa lebih menenangkannya.

lnilah sepenggal cerita perjalanan saya dan buah hati saya. Semoga hal ini bisa dijadikan pelajaran dan bahan renungan oleh siapapun. Terutama saudara dan kerabat saya yang masih menekuni ilmu warisan tersebut. Teriring do’a semoga Allah menjadikan kita orang yang mau mengikuti kebenaran walau pahit rasanya.
 
back to top